26 July 2007

search

Web Gambar Grup Direktori
Pencarian Khusus
Acuan
Telusuri:
Web Urutan 1 - 10 dari sekitar 780 hasil penelusuran untuk tebuireng. (0.10 detik)

The Official Website of PP. Tebuireng - Jombang - Jawa Timur

Ir. Solahuddin Wahid Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Santri Menulis Ruang tulisan santri Pondok Pesantren Tebuireng dalam mengemukakan ...
www.tebuireng.net/ - 34k - Tembolok - Laman sejenis

The Official Website of PP. Tebuireng - Jombang - Jawa Timur

(+62)321-864110 e-mail:pengurus@tebuireng.net atau tebuireng@telkom.net ... 70 Suster Peserta AVE-V Berkunjung ke Tebuireng ...
www.tebuireng.net/?pilih=berita&Login=a3106f7f9052712da1c1362378c86fa1 - 25k - Tembolok - Laman sejenis
[ Hasil temuan lainnya dari www.tebuireng.net ]

Republika Online : http://www.republika.co.id

Acara penyerahan kepemimpinan tersebut digelar bersamaan Tahlil Akbar dan Pertemuan Alumni Ponpes Tebuireng yang dihadiri Menteri Agama Maftuh Basuni. ...
www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=243734&kat_id=6 - 30k - Tembolok - Laman sejenis

PORTAL IPTEK

Sistem sanitasi lingkungan, di Pondok Pesantren Tebuireng, belum memenuhi persyaratan sebagai sarana sanitasi yang berwawasan lingkungan dan kesehatan, ...
www.iptek.net.id/ind/?ch=jsti&id=313 - 27k - Tembolok - Laman sejenis

Web resmi Tebuireng cab Cairo

kita jadikan situs ini sebagai ajang silaturahmi dan berkreasi alumni tebuireng where ever we are,bagi temen-temen yang mempunyai kreasi,kritik saran dan ...
www.tebuirengcairo.com/ - 14k - Tembolok - Laman sejenis

Web resmi Tebuireng cab Cairo

Organisasi yang menghimpun dan mewadahi para mahasiswa alumni tebuireng di negeri seribu menara ini pertama kali bernama IKMAT (Ikatan Keluarga Mahasiswa ...
www.tebuirengcairo.com/tebuirengcairo/profil.php - 12k - Tembolok - Laman sejenis

NU Online [www.nu.or.id]

Hasyim Asy’ari, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Mereka sama-sama murid KH. Kholil Bangkalan Madura. ...
www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8330 - 60k - Tembolok - Laman sejenis

NU Online [www.nu.or.id]

Tebuireng yang Selalu Saya Kenang, Pak ud yang Selalu Saya Ingat 09/04/2007 ... Tebuireng memang sesuatu yang penuh kenangan bagi saya. ...
www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8915 - 72k - Tembolok - Laman sejenis
[ Hasil temuan lainnya dari www.nu.or.id ]

"Ijo Abang" Masyarakat Jombang - Kamis, 28 Agustus 2003

Ponpes Tebuireng didirikan pada tahun 1899 di Kecamatan Diwek dengan jumlah ... "Hanya sekitar lima kilometer dari Ponpes Tebuireng, di wilayah Kecamatan ...
www.kompas.com/kompas-cetak/0308/28/otonomi/517968.htm - 38k - Tembolok - Laman sejenis

Matapena; matahati pena pesantren

Kami pun langsung meluncur ke Tebuireng, tepatnya Wisma AFI (AFI banget gitu loh) yang kebetulan lokasinya berseberangan sama PP Tebuireng. ...
matapenajogja.blogspot.com/2005/12/first-road-show-to-jombang_2668.html - 24k - Tembolok - Laman sejenis





Cari di dalam hasil | Perangkat Bahasa | Tips Penelusuran


Beranda Google - Program Periklanan - Serba-serbi Google

©2007 Google

22 July 2007

Mereka - Gunawan Muhammad

Mereka di luar dan terkutuk, kami tidak. Di sini, kami adalah penyelamatan; di sana, mereka sesat….

Di abad ke-21, suara seperti itu akan terasa sebagai gema dari sebuah zaman kusam berabad-abad yang lalu. Tapi benarkah itu suara yang telah lapuk oleh panas, lekang oleh hujan?

Tembok Vatikan berdiri tegak, tua, seakan tak terusik. Dalam bulan Juli 2007 ini Paus Benediktus menegaskan kembali apa yang dirumuskannya ketika ia masih Kardinal Joseph Ratzinger tujuh tahun sebelumnya. Doktrin ini, Dominus Iesus, telah menyebabkan para pemimpin Protestan menganggap Vatikan kini sebuah pintu yang ditutup kembali. Pertalian ekumeni dan dialog sesama iman Kristiani mungkin tak dapat diharapkan lagi. Seorang tokoh Protestan, Wolfgang Huber, ketua kelompok Gereja Evangeli Jerman, mengeluh: ”Harapan ke arah sebuah perubahan dalam situasi hubungan ekumeni telah digusur lebih menjauh….”

Paus yang sekarang, kata Huber, mengulangi ”statemen yang melecehkan” yang termaktub dalam Dominus Iesus. Pernah ada suatu masa harapan kerukunan akan tumbuh pesat, ketika Konsili Vatikan II dijadikan pegangan bagi Gereja Katolik untuk menerima dengan lebih hormat agama-agama lain. Tapi Konsili Vatikan itu kini berumur 40 tahun, dan di Takhta Suci duduk seorang Paus yang memandang cemas dunia pascamodern.

Kecemasannya memang mencemaskan. Ketika Dominus Iesus diumumkan, Presiden Federasi Gereja-Gereja Evangeli Italia, Domenico Maselli, bereaksi: teks itu merupakan ”sebuah langkah besar mundur dalam hubungan antara Katolik Romawi dan komunitas Kristiani lain”. Gereja Anglikan, ketika itu di bawah Uskup Agung Canterbury, George Carey, mengecamnya sebagai sesuatu yang tak dapat diterima.

Tapi doktrin ”tak ada penyelamatan di luar Gereja”, extra ecclesiam nulla salus, agaknya senantiasa dapat dipanggil kembali ketika dibutuhkan. Dan Paus Benediktus XVI melihat bahwa abad ke-21 adalah masa serba nisbi, tak ada ajaran yang dianggap benar secara mutlak, ketika manusia bingung mencari pegangan seakan-akan Tuhan benar mati. Ia membawakan ketakutan orang-orang tradisionalis, yang mengecam ”ekumenisme” Konsili Vatikan II, yang dianggap telah mengaburkan garis lurus ajaran. Doktrin telah dibuat lemah di hadapan ”agama-agama yang palsu”.

Tapi orang tak bisa menyalahkan sebuah zaman. Pintu yang tertutup selalu mengikuti tiap gereja—dan Roma tak hanya kali ini membuat palang pintu yang besar. Di tahun 1441, Gereja memaklumkan bula Cantate Domino, 1441: ”tak seorang pun yang ada di luar Gereja Katolik, tak hanya orang tak beragama, juga orang Yahudi, orang murtad… tak akan mendapatkan tempat dalam kehidupan abadi, tapi mereka akan masuk ke dalam api abadi yang disiapkan oleh Setan… biarpun mereka besar sedekahnya, biarpun mereka menumpahkan darah atas nama Kristus….”

Maka apa sebenarnya yang baru dalam pendirian Paus Benediktus XVI—dan apa yang aneh di sana, sebab hampir tiap agama membangun pintu benteng yang membatasi ”mereka” dengan ”kami”, dan menunjukkan gejala yang disebut oleh Bergson sebagai ”moralitas tertutup”?

Dalam risalahnya yang terkenal, karya besarnya yang terakhir, Dua Sumber Moralitas dan Agama, Bergson menyebut ”moralitas tertutup” itu tampak ketika agama hadir dalam sifatnya yang ”statis”. Moralitas ini berkembang dari kehendak untuk menjaga kesatupaduan sosial—sebuah kebutuhan yang tumbuh karena spesies tahu ia tak akan dapat hidup sendirian. Kelanjutan hidup komunitas itu mengharuskan adanya sikap patuh kepada aturan, ketika ada rasa terancam oleh elemen yang ada di luarnya. Bagi Bergson, ”moralitas tertutup” berurusan dengan perang. Di sini berperan ”fungsi fabulasi”: dengan inilah dihadirkan citra dewa atau tuhan yang mengawasi, agar kepatuhan dijaga.

Dari segi ini, extra ecclesiam nulla salus dan pelbagai variasinya dalam agama-agama lain pada hakikatnya berpegang pada apa yang keras tapi beku, kukuh tapi mandek. Berbeda dengan ”moralitas terbuka”. Bergson menggunakan kata ”terbuka” karena sifatnya yang inklusif, tak hendak menyisihkan ”mereka” dari ”kami” yang suci, dan mencalonkan mereka serta-merta ke api neraka yang kekal.

Moralitas ini lahir dari ”emosi kreatif”: emosi yang melahirkan (dan bukan dilahirkan oleh ) representasi, seperti ketika seorang musikus, karena dorongan emosinya, melahirkan nada-nada dalam notasi.

Dapat dibayangkan bahwa dalam hal ini bukan teks ajaran dan lembaga sang penjaga doktrin yang melahirkan hubungan aku dengan Tuhan. Hubungan aku dengan Tuhan lahir dari ”emosi kreatif”: dari kerinduan, diri pun menjangkau yang Maha-Agung.

Tentu saja ada sesuatu yang tak dapat diatur di sana—juga tak dapat dibatasi. Maka wajar jika ”moralitas terbuka” pada akhirnya tak akan berkutat pada perumusan siapa ”mereka” siapa ”kami”. Jika di sini orang bicara tentang ”penyelamatan”, ia tak didahului dengan membangun sebuah tembok yang kedap. Ia tak lahir dari ketakutan. Ia tak hendak berlindung dari kehancuran, sebab percaya bahwa Tuhan tak akan menghancurkan, sebab Tuhan akan selalu menjadikan, akan berada dalam proses yang tak tepermanai….

Tapi mungkin Paus seperti halnya mereka yang melihat bahwa ajaran dan komunitas harus selalu dijaga—kalau perlu dengan darah dan besi. Dalam pandangan ini hanya dengan ketakutan, dan dengan pintu tertutup, manusia dapat diselamatkan.

Itu juga wajah muram zaman ini.

~Majalah Tempo Edisi. 21/XXXIIIIII/16 - 22 Juli 2007~

17 July 2007

Konflik, Persaudaraan dan Perdamaian

Konflik, Persaudaraan dan Perdamaian merupakan nuansa yang sangat indah sekali jika dilihat dari kacamata kemanusiaan, dengan catatan hak asasi manusia tidak dilanggar sejengkal pun. Ini yang menjadi titip berat yang harus diperhatikan dengan seksama dan hati-hati. Perbedaan dari ketiganya adalah rahmatan lil 'alamiin. Konflik tidak dengan sakit hati atau dendam, tetapi untuk menjadi lebih baik, bisakah kita tetap tersenyum dan tertawa bersama-sama...?

09 July 2007

Blogger PP Tebuireng

PONDOK PESANTREN TEBUIRENG
(Sejarah dan Perkembangannya)

Pengantar

Tebuireng, nama sebuah dusun kecil di tepi jalan raya Jombang-Kediri, delapan kilometer arah selatan kota Jombang. Legenda masyarakat setempat menyebutkan, bahwa nama Tebuireng berasal dari kebo ireng. Bermula dari suatu peristiwa bahwa di antara penduduk dusun ada yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule). Suatu hari kerbau itu menghilang, setelah dicari kesana kemari barulah senja hari ditemukan terperosok di rawa-rawa. Seluruh kulitnya dipenuli binatang lintah sehingga terlihat hitam. Hal itu sangat mengejutkan bagi pemilik kerbau sehingga dia berteriak, “kebo ireng”. Maka kebo ireng menjadi sebutan bagi dusun kecil itu.
Riwayat lain menyebutkan, kebo ireng berasal dari nama seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di daerah Jombang. Konon, keluarga pesantren Tebuireng dengan punggawa tersebut memiliki pertalian darah. Dalam perkembangan selanjutnya, nama kebo ireng berubah menjadi Tebuireng.

Berdirinya Pesantren

Pondok Pesantren Tebuireng sendiri didirikan oleh KHM. Hasyim Asy’ari tahun 1899 M, dan mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda pada 16 Rabiul Awwal 1324 H / 6 Februari 1899 M. Kyai Hasyim lahir di Pesantren Gedang, arah utara kota Jombang pada 26 Dzul Qo’dah 1287 H / 14 Februari 1871 M dari hasil perkawinan antara K. Asy’ari dengan Halimah. Beliau adalah seorang ulama’ besar yang telah lama belajar dan mendalami ilmu agama baik di dalam maupun luar negeri. Jiwanya merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat tempat tinggalnya yang sedang dilanda berbagai krisis kehidupan, Kyai Hasyim mendirikan Pondok Pesantren yang berperan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam.
Dalam Mewujudkan cita-citanya, Kyai Hasyim memiliki suatu pedoman, “ Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, maka akan banyak menghasilkan berbagai kebaikan yang lain. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah diberikan oleh nabi kita dalam perjuangannya”.
Selanjutnya, Kyai Hasyim membeli tanah seluas 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang terkenal. Di atas tanah tersebut didirikan pondok, yang hanya berupa bedeng berbentuk bujur sangkar, di sekat menjadi dua ruangan. Bagian belakang sebagai tempat tinggal Kyai dan keluarganya, sedangkan yang lain untuk tempat sholat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang. Fasilitas yang sangat sederhana tidak mengurangi semangat Kyai Hasyim dalam membimbintg para santri untuk menuntut ilmu dalam bentuk pengajian kitab-kitab agama.
Berdirinya pesantren Tebuireng kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya, dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian, sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kyai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kyai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.
Hidup dalam pemerintah kolonial membuat Kyai Hasyim berprinsip ‘berdikari’, artinya tidak menggantungkan diri atau minta bantuan kepada orang lain yang tidak seirama dan seagama. Dengan semangat berkorban da penuh pengabdian, beliau terus membina Pondok Pesantren Tebuireng hingga berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang besar. Prinsip yang dikembangkan adalah mengutamakan kepentingan pesantren daripada kepentingan diri sendiri. Karena itulah, dari sisi ekonomi beliau tetap memiliki usaha di luar pesantren, yang di waktu senggang di sela-sela mengajar Kyai Hasyim menyempatkan diri mengerjakan sawah pertanian dan juga melakukan perdagangan keluar daerah.
Pengembangan Pesantren
Pendidikan semula berlangsung secara sorogan (santri membaca, guru menyimak) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak). Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk tambahan pelajaran umum yang meliputi bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan Berhitung.
Untuk meningkatkan pendidikan di Tebuireng, Kyai Hasyim menunjuk Abdul Wahid Hasyim (putra) dan Moh. Ilyas (santri), -sebelumnya telah diutus untuk belajar di Makkah- untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan pembaharuan dalam tiga bidang yakni:

  • Memperluas pengetahuan para santri
  • Memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah
  • Meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif

Sebagai langkah pembaharuan, tahun 1934 Abdul Wahid Hasyim merintis Madrasah Nidhomiyah yang banyak menyajikan pelajaran umum dan ditunjang dengan memasukkan surat kabar, majalah, buku-buku pengetahuan umum yang berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Perkembangan sistem pendidikan ini tidak meninggalkan pola pengajaran khas pondok pesantren yaitu pengajian kitab klasik (kuning).
Usaha pembaharuan ini memang tidak menampak hasil nyata dalam waktu dekat. Namun saat penjajahan Jepang diberlakukan larangan surat menyurat selain dengan huruf latin, hal itu tidak menimbulkan masalah bagi santri Tebuireng. Dengan modal mempelajari pengetahuan umum di Tebuireng, banyak alumni Tebuireng dengan cepat mampu menguasai keadaan untuk menolong umat Islam yang terjajah. Misalnya di bidang politik menjadi anggota ‘sangi kay’ (DPR tingkat Karesidenan), menguasai sentra-sentra ekonomi, bahkan pasca kemerdekaan banyak yang menduduki jabatan kepala di suata jawatan.
Model pendidikan ini olah Abdul Wahid Hasyim disebut ‘da’wah dari dasar’. Dengan demikian gerakan bagi pembaharuan pendidikan Islam, pemahaman kehidupan agama dan gerakan sosial, terpadu dalam misi Pondok Pesantren Tebuireng. Akibat dari aktivitas Tebuireng ini tidak hanya dirasakan oleh santri-santrinya, tetapi juga oleh masyarakat muslim di luar Pondok Pesantren. Tujuan pendidikan yang dirintis oleh Abdul Wahid Hasyim ini adalah untuk mensejajarkan derajat dan martabat santri dengan pelajar-pelajar dari Barat.
Pada 25 Juli 1947 Kyai Hasyim dipanggil menghadap Allah SWT. Jabatan pengasuh digantikan oleh putranya sendiri, KH. Abdul Wahid Hasyim yang memgang jabatan hingga tahun 1950. Ketika beliau diangkat menjadi menteri agama RI dalam kabinet RIS, kedudukan sebagai pengasuh digantikan KH. Baidlowi, menantu Kyai Hasyim. Berturut-turut wewenang pengasuh diemban oleh KH. Abdul Karim Hasyim dan kemudian oleh KH. Abdul Kholiq Hasyim yang saat itu telah non-aktif sebagai seorang senior Divisi Brawijaya.
Saat kepemimpinan KH. Abdul Kholiq ini Madrasah Nidhomiyah berganti nama menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Perubahan nama ini sebenarnya diakibatkan oleh perubahan dalam approuch terhadap pemberian ajaran agama yang melebar, dengan memiliki jenjang pendidikan dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Karena masih merupakan sebuah percobaan, pada masa 10 tahun pertama konsep salafiyah ini masih mengalami perubahan bentuk dan nama berkali-kali, seperti wustho, mu’alimin dan lain sebagainya.
Lambat laun sistem salafiyah ini menetap dalam bentuk yang baku, yaitu 6 tahun pendidikan dasar (ibtida’iyah), dan 3 tahun lanjutan atas (aliyah), dengan komposisi 65% mata pelajaran agama dan 35% mata pelajaran umum. Pada tahun 1965 KH. Abdul Kholiq wafat, sedangkan kakak beliau KH. A. Wahid Hasyim telah mendahuluinya pada tahun 1953 dan kemudian menyusul KH. Abdul Karim Hasyim tahun 1973 di tanah suci Mekkah.
Kedudukan selanjutnya dipegang KHM. Yusuf Hasyim yang telah menjadi pengasuh dari tahun 1965 hingga tahun 2006 dan beberapa bulan sebelum beliau meninggal posisi pengasuh dipegang KH. Ir. Solahuddin Wahid putra dari KH. A. Wahid Hasyim hingga kini.
Di samping itu salah seorang menantu Kyai Hasyim yaitu Kyai Idris Kamali, secara tekun memimpin pengajian agama dalam bentuk pengajian sorogan sejak tahun 1950 an hingga tahun 1972, ketika beliau berangkat ke tanah suci untuk menetap di sana hingga beberapa waktu dan akhirnya wafat pada tahun 1986 di Cirebon.

Langkah Antisipatif

Pada masa berikutnya dikembangkan beberapa jalur pendidikan formal.
Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk Salafiyah disempurnakan.
Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah non agama (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama belaka. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, untuk kemudian santrinya memasuki jalur pendidikan agama di atas. Dengan demikian jalur kedua ini sebagai by-pass untuk memasuki jalur pertama pada tingkat lanjutan.
Ketiga, jalur SMP dan SMU A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau kursus.
Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.
Di tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.
Disamping disediakan lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana penunjang kegiatan untuk kelancaran belajar para santri. Misalnya Koperasi Pondok Pesantren (1973), Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974), Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha Kesehatan Pondok Pesantren, Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994), dan Warung Internet (1998).



KITAB-KITAB KARYA HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI PENDIRI PONDOK PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG DAN JAM'IYAH NAHDLATUL ULAMA'
  1. Adabul 'Alim Wal Muta'allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy'ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy'ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
  2. Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama'ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama'ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid'ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa'h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama'ah tersebut.
  3. At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy'ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
  4. An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.
  5. Ziyadatut Ta'liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
  6. At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna' Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari sehingga beliau mengarang kitab ini.
  7. Dhou'ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama.


KITAB-KITAB KARYA KH.ISHOM HADZIQ (GUS ISHOM) CUCU HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI
  1. Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou'ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.
  2. Audhohul Bayan Fi Ma Yata'allaq Bi Wadhoifir Ramadhan adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
  3. Irsyadul Mukminin merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya, kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.